Persekutuan Komanditer atau yang lebih dikenal dengan CV (Commanditaire Vennootschap) merupakan salah satu bentuk badan usaha yang populer di Indonesia, terutama di kalangan pengusaha kecil dan menengah. Bentuk usaha ini menawarkan kemudahan pendirian, struktur operasional yang fleksibel, dan biaya administrasi yang relatif terjangkau.
Meskipun memiliki beberapa keunggulan, CV memiliki keterbatasan signifikan dalam hal kepemilikan aset, khususnya tanah dan bangunan. Keterbatasan ini berakar pada status hukum CV sebagai badan usaha non-badan hukum, yang membedakannya dari bentuk usaha seperti Perseroan Terbatas (PT).
Artikel ini mengulas landasan regulasi, implikasi praktis, dan strategi bisnis yang dapat diterapkan oleh pengusaha untuk mengatasi keterbatasan kepemilikan aset oleh CV, dengan fokus pada solusi yang sesuai dengan konteks bisnis di Indonesia.
Status Hukum CV dalam Sistem Perundang-undangan Indonesia
CV atau Persekutuan Komanditer merupakan bentuk badan usaha yang diakui keberadaannya dalam sistem hukum Indonesia. Bentuk usaha ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), khususnya dalam Pasal 19, 20, dan 21 KUHD. Meskipun diakui oleh regulasi, CV tidak diklasifikasikan sebagai badan hukum, melainkan hanya sebagai badan usaha non-badan hukum.
Struktur CV terdiri dari dua jenis sekutu dengan peran berbeda: sekutu komplementer yang bertanggung jawab secara penuh terhadap operasional dan kewajiban perusahaan, serta sekutu komanditer yang berperan sebagai penyedia modal dengan tanggung jawab terbatas pada modal yang disetorkan.
Terdapat dua faktor utama yang menyebabkan CV tidak memperoleh status badan hukum:
- Tidak adanya undang-undang khusus yang memberikan status badan hukum kepada CV, berbeda dengan PT yang secara jelas diakui sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
- Dalam PT, terdapat pemisahan kekayaan yang jelas dan tanggung jawab terbatas para pemegang saham, sedangkan pada CV tidak ada pemisahan yang tegas antara kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi sekutu komplementer
Ketentuan Hukum Terkait Kepemilikan Tanah oleh CV
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 menjadi landasan utama dalam pengaturan kepemilikan tanah di Indonesia. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) undang-undang ini, pemegang hak atas tanah hanya dapat terdiri dari orang pribadi atau badan hukum, dan CV tidak termasuk dalam kategori badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah. Akibatnya, CV tidak dapat tercantum sebagai pemilik properti dalam sertifikat tanah.
Hak Milik, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA, adalah hak kepemilikan tanah yang paling kuat dengan hak turun temurun. Batasan kepemilikan tanah ini menegaskan bahwa CV, yang bukan merupakan orang pribadi maupun badan hukum, tidak dapat menjadi pemegang Hak Milik atas tanah.
Implikasi Status Non-Badan Hukum terhadap Kepemilikan Aset
Status CV sebagai badan usaha non-badan hukum memiliki dampak langsung terhadap kemampuannya untuk memiliki aset, terutama tanah dan bangunan. Berbeda dengan PT yang dapat memiliki aset atas namanya sendiri, CV menghadapi keterbatasan mendasar dalam hal ini.
Dampak status non-badan hukum CV pada kepemilikan aset meliputi:
- CV tidak dapat menjadi pihak yang secara hukum tercatat sebagai pemilik aset
- Dalam transaksi resmi, CV bertindak melalui sekutu komplementer (sekutu aktif) yang mewakili kepentingan CV
- Aset yang diperoleh selama operasional CV secara hukum tidak dapat didaftarkan atas nama CV
- Tidak ada pengakuan hukum atas pemisahan aset CV dengan aset pribadi sekutu komplementer
Keterbatasan-keterbatasan ini menciptakan tantangan signifikan bagi pertumbuhan bisnis dan akses terhadap pembiayaan, karena aset perusahaan merupakan komponen penting dalam valuasi bisnis dan jaminan kredit. Dengan demikian, pemilik CV perlu mencari alternatif untuk mengatasi batasan kepemilikan aset ini.
Alternatif Kepemilikan Aset untuk CV
Untuk menghadapi keterbatasan hukum yang telah diuraikan, berikut adalah beberapa pendekatan praktis yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi masalah kepemilikan asset tersebut. Masing-masing alternatif ini memiliki kelebihan dan risiko yang perlu dipertimbangkan dengan seksama.
Kepemilikan Atas Nama Sekutu CV
Pendekatan paling umum adalah dengan mencatatkan hak atas tanah menggunakan nama sekutu (partner) dari CV tersebut. Praktik ini dapat dilakukan baik dalam bentuk Hak Milik maupun Hak Guna Bangunan (HGB). Dalam model ini, dana yang digunakan untuk memperoleh tanah berasal dari CV dan secara administratif internal, aset tersebut diakui sebagai aset CV. Namun, secara hukum, kepemilikan tetap berada di tangan sekutu yang namanya tercantum dalam sertifikat.
Meskipun metode ini banyak digunakan, terdapat risiko hukum yang signifikan. Tanah yang terdaftar atas nama sekutu secara resmi tetap milik pribadi sekutu tersebut, bukan milik CV. Ini karena sekutu CV dengan CV itu sendiri dianggap sebagai entitas terpisah dengan kewajiban pajak berbeda. Kondisi ini bisa menyebabkan berbagai masalah hukum yang merugikan baik CV maupun sekutunya, seperti sengketa kepemilikan atau masalah perpajakan.
Upaya Regulasi: Surat Edaran tentang Pemberian HGB untuk CV
Menanggapi permasalahan yang dihadapi oleh banyak pengusaha CV, pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (KBPN) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Untuk Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschaap) pada tanggal 28 Juni 2019. Surat edaran ini dimaksudkan untuk memberikan panduan terkait pemberian HGB untuk CV.
Namun, surat edaran tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang memadai karena tidak menjelaskan secara rinci prosedur dan akibat hukumnya. Pada praktiknya, surat edaran tersebut lebih mengarah pada pemberian HGB untuk sekutu CV, bukan untuk CV itu sendiri. Hal ini tetap konsisten dengan ketentuan dalam UUPA yang menyatakan bahwa hanya orang pribadi dan badan hukum yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah.
Implikasi dan Risiko Hukum Kepemilikan Aset CV
Ketidakmampuan CV untuk memiliki aset atas namanya sendiri menimbulkan beberapa implikasi dan risiko hukum yang perlu diperhatikan oleh para pelaku usaha:
Kerentanan Terhadap Sengketa Kepemilikan
Ketika aset CV terdaftar atas nama sekutu, terdapat risiko sengketa kepemilikan, terutama jika terjadi perselisihan antara para sekutu atau antara sekutu dengan CV itu sendiri. Sebagai contoh, sekutu yang namanya tercantum dalam sertifikat tanah secara hukum memiliki hak untuk mengalihkan atau menjaminkan tanah tersebut, meskipun tanah itu dianggap sebagai aset CV.
Selain itu, dalam kasus sekutu yang namanya tercantum dalam sertifikat meninggal dunia, tanah tersebut dapat menjadi bagian dari harta warisannya dan diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini tentu berpotensi merugikan CV yang secara de facto menggunakan dan menganggap tanah tersebut sebagai asetnya.
Implikasi Perpajakan
CV dan para sekutunya merupakan subjek pajak yang terpisah. Ketika aset terdaftar atas nama sekutu tetapi digunakan dan diakui sebagai aset CV, muncul pertanyaan tentang kewajiban perpajakan, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak penghasilan dari pemanfaatan aset tersebut. Ketidakjelasan status kepemilikan ini dapat menyebabkan kesulitan dalam pelaporan pajak dan berpotensi menimbulkan sanksi perpajakan.
Rekomendasi untuk Pengusaha CV
Dengan segala keterbatasan kepemilikan aset dan alternatif yang telah dijelaskan, berikut rekomendasi strategis yang dapat dipertimbangkan oleh para pengusaha yang saat ini menjalankan usaha dalam bentuk CV:
Transformasi Bentuk Usaha
Solusi jangka panjang yang paling memberikan kepastian hukum adalah dengan mengubah bentuk usaha dari CV menjadi PT (Perseroan Terbatas). Sebagai badan hukum, PT memiliki kemampuan untuk menjadi pemegang hak atas tanah dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB), tidak seperti CV yang sama sekali tidak dapat tercatat sebagai pemegang hak tersebut.
Meskipun proses transformasi ini memerlukan waktu, biaya, dan persyaratan administratif yang lebih kompleks, manfaat yang diperoleh sangat signifikan, terutama bagi bisnis yang sedang berkembang:
- Kepastian hukum dalam kepemilikan aset
- Pemisahan yang jelas antara aset perusahaan dan aset pribadi
- Peningkatan kredibilitas di mata investor dan kreditor
- Perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pemilik usaha
- Kemudahan dalam ekspansi bisnis dan perencanaan suksesi
Perjanjian Tertulis Antara CV dan Sekutu
Bagi CV yang memilih untuk tetap mempertahankan bentuk usahanya dan mendaftarkan aset atas nama sekutu, sangat penting untuk membuat perjanjian tertulis yang jelas dan menyeluruh. Perjanjian ini harus mengatur secara rinci:
- Pengakuan bahwa aset dibeli dengan dana CV
- Hak dan kewajiban masing-masing pihak terkait pengelolaan aset
- Larangan pengalihan aset tanpa persetujuan tertulis CV
- Kewajiban sekutu untuk mengalihkan aset jika diminta oleh CV
- Mekanisme penyelesaian sengketa jika terjadi konflik
- Ketentuan yang mengatur hal-hal yang terjadi jika sekutu meninggal dunia
Meskipun perjanjian ini tidak dapat mengubah status kepemilikan secara hukum, setidaknya dapat memberikan dasar hukum bagi CV untuk mengajukan tuntutan jika sekutu melakukan tindakan yang merugikan CV terkait dengan aset tersebut.
Kesimpulan
CV tidak dapat memiliki aset tanah dan bangunan atas namanya sendiri karena statusnya sebagai badan usaha non-badan hukum. Undang-Undang Pokok Agraria membatasi kepemilikan tanah hanya untuk orang pribadi dan badan hukum.
Pengusaha perlu mempertimbangkan transformasi menjadi PT atau membuat perjanjian tertulis komprehensif untuk mengamankan kepentingan bisnis, terutama bagi usaha yang memerlukan kepastian hukum dalam kepemilikan aset.
Butuh Solusi untuk Kepemilikan Aset CV Anda?
Keterbatasan CV dalam memiliki aset tanah dan bangunan dapat menimbulkan risiko hukum dan perpajakan yang signifikan bagi bisnis Anda. Hubungi kami melalui info@lexara.id untuk mendiskusikan alternatif kepemilikan aset CV Anda dan dapatkan panduan yang sesuai dengan kebutuhan bisnis Anda.
Leave a Reply